Topeng Pelangi 1
Berselimut marmer hitam
Ukiran nama berwarna emas
Seperti topeng cahaya
Bergerak eksotik dalam kelam
Tanpa suara melangkah ringan
Ku lewati pembatas
Menatap hampa
Debu yang terbang berat
Bersandar di mata
Malam membagi kartu duka
Yang tidak terbaca
Luka-luka pucat
Meraba dalam kelam
Pohon-pohon hening
Nyanyikan lagu sedih
Semua telah berakhir
Rasa haus dan tetes embun
Aku mencari nama
Diantara 3000 nama-nama bisu
Diantara topeng pelangi
Di langit yang melepuh
Topeng Pelangi II
Pelangi di langit malam
Pelangi di ujung kelam
Menari bak setan kegelapan
Dan kucing jantan yang terjerat
Ranting-ranting basah
Di sekeliling jembatan rapuh
Tak terawat
Derap langkahku menghempas debu
Diantara nama-nama bisu
Tak henti diri tertegun
Dimana namaku
Melangkah menapak jalan berumput
Bercak darah dan serpihan-serpihan
daging hangus
Kunang-kunang membawa aroma sehabis
hujan
Terbang melayang menyebut nama-nama
berwarna emas
Mawar membisu di deretan nama-nama
itu
Kelopak Waktu
Pucuk jam sedingin mentega di dalam
kulkas
Bayang-bayang pepohonan di bawah
bulan sabit
Bayang-bayang wajahmu di aliran air
Mengalir ke hilir
Yang tinggal hanyalah bulan sabit
dalam kabut
Dalam kelam malam
Mengusik burung hantu di tangkai
pohon jambu
Sepasang mata di kaca jendela
Basuh tubuh dengan wangi gelap
Walau mata tak terlelap
Resah hati melihat sorot mata itu
Ternyata ibu di balik pintu
Pantulan cermin hadirkan wajah itu
Wajah yang tulus
Rontokkan kelopak waktu
Di kalbuku…..
Kaca-kaca
Kaca-kaca bening tertata rapi tanpa
noda
Menjelma dalam kelam embun
Di hamparan langit
Senja pantai berpayung lembayung
indah menanti
Tapi kutatap hanyalah kelam
Seakan maut menjembataniku
Menyapa ramah
Getir asa dalam jiwa lenyap
Tubuhku tak berdaya
Pasrah bagi kehendak mutlak
Peluh mengalir menganak sungai
Coba hindari maut yang menanti
Kalau senua tak berarti
Kerlip bintang warnai malam
Diri terkapar tercabik kelam
Di balik kain ku bersemayan
Bersiap hadapi jutaan pertanyaan
Ujung Penantian
Malam sunyi tanpa suara
Bulan pancarkan sinar jingga
Merenung sendiri
Tanpa sobat sejati bintang
Pepohonan di musim kemarau
Kering kerontang hingga tenggorokan
Gersang bumi hamparan api
Kabel-kabel melepuh
Awan-awan berteriak
Daun melambai tak tentu arah
Seperti jalan hidupku ini
Hanya hamparan noda hitam
Tak ada liku arus membentang
Ku tapaki terus jalan tanpa tujuan
Ku ingin temukan ujung dari semua ini
Peluh tak terbendung lagi
Lelah merintih hentikan nadi
Mana ujung jalan ini?
Mengapa tak kutemui?
Mungkinkah di sana di ujung jalan
Ada jurang yang menanti?
Api Benci di Hati
Barangkali ini yang namanya dendam
Penuh siratan kebencian
Yang muncul dari hati
Dan menancap di sanubari
Yang membakar dan porak-porandakan
jiwa
Sirik!!!!
Pondasi dari segalanya
Iri!!!!
Simbol kekejaman mutlak
Akar dari bara api ini
Entah sampai kapan
Diri mampu berlari
Hindari sosok wajah
Penuh bayang-bayang dalam bara api
Demokrasi
Indonesia telah merdeka
Negeriku terpandang di mata dunia
Telah mampu menatap horizon luas
Gagah kibarkan bendera pusaka
Rangkaian demokrasi
Melakukan pembaharuan
Rinduku Buat Ibu
Sebelum fajar menyelam
Duduk melamun
Menanti malam
Detik-detik yang habis tertelan
Coba bertahan
Walau hati tercekam
Rindu itu buat ibu
Kusampaikan lewat bait puisi
Didiringi tetes air mata
Yang selalu kucoba tuk bertahan
Tapi rindu selalu menang
Ibu doakan anakmu
Agar cepat kembali
Kembali hanya untuk ibu
Gerobak Tua
Berjalan di mala hari
Dengan gerobak tua
Lusuh
Tak terawatt
Sepatu kulit tebal
Baju tebal pembalut badan
Gerobak berisi barang
Merokok sambil berjalan
Tapi rokok penunjuk jalan
Jangkrik pemberi jalan
Menuju belakang rumah
Memungut barang bekas
Anjing menggonggong
Hati gelisah
Sampai ujung jalan
Sampai akhir perumahan
Setiap hari berjalan sendiri
Dengan gerobak bisu
Teman hidup selamanya
Hingga waktunya tiba
Kita akan pergi
Pergi untuk selamanya
Cinta Bukan Sebatas Impian
Di ambang pintu kesesakan
Penuh teriak maut yang menanti
Engkau mampu sadarkan
Hentak aku dari segala mimpi
Tatapan penuh kelembutan
Cukup membuatku goncang
Dan pipi berubah warna
Berseri merah jambu seperti sakura
Detak jantung sadarkan ini bukan
mimpi
Dan deru nafas
Sadarkan ini bukan sekedar imajinasi
Dan sulit kupercaya
Kau katakana cinta
Saat ku berada
Di ambang sepi cinta
Persahabatan
Bagai setetes embun yagn menyejukkan
Bagai semerbak melati yang wangi
Tercipta sebuah persahabatan yang
indah
Hari –hari yang indah
Terlewati dengan canda dan tawa
Mengukir cita
Diantara bilur-bilur persahabatan
Kala aku rapi
Engkau laksana pondasi bagiku
Kala aku gundah
Engkau laksana penyejuk
Sahabat,,,,,, betapa indah dunia ini
Jika dipenuhi denganbingkai-bingkai
persahabatan yang sejati
Ku harap semua ini
Utuh untuk selamanya.
Sepi
Sepi yang kurasa
menyelimuti
Segala hasrat di hati
Ketika hari ini aku
membisu
Ku duduk sendiri
Tiada teman untuk
berbagi
Sepi….
Seakan membuat hidup
tak berarti
Namun ku tahu sepi
yang ku alami
Bagai emas di hati
Yang dapat membuat
inspirasi
Kemarau
Daun-daun gugur dari
rantingnya
Menebar lentera musim
kemarau
Semilir angin berdesir
Ciptakan api yang
bergejolak
Pasir putih gersang
mendamba sentuhan
Binar-binar mentari
menyengat
Panas,,,, gersang
Semerbak api membakar
jiwa ini
Ingin diri teteskan
embun
Ternyata tetes api
yang tertelan
Semua karenamu
Kau yang lunturkan
lembah kasih di hatiku
Lunturkan cinta yang
diam-diam
Telah ku buktikan
Telah ku pupuk
Dari senyum dan
sikapmu
Tapi kini
Senyummu bak api yang
membakar
Sikapmu bak samurai
Yang mencabik jiwaku
Tapi kau tak peduli
Kau memilih diam
Tak kusangka
Dirimu akan berpaling
dari lentera cinta
Yang telah bersemi di
musim kemarau
Ku menanti ucapan maaf
Yang tak kunjung
terucap
5 Juli
Badai menerpa belahan
bumi
Di sini ku masih
terperanjat
Membisu bersama waktu
yang melekang
Ku nanti dering tang
tak tergapai
Kucoba satukan hati
Tapi dirimu telah
berdua
Bersma dia yang tak ku
kenali
Mungkin disana kau
berada
Di ufuk fajar
Jujur
Genggaman tanganmu tak
mampu ku lupakan
Dan tak ku sangka
Dia yang membuat kau
jauh
Walau ku tahu ku
takkan menduga
Air mata ku teteskan
Ku harap kau bahagia
denagannya
Walau hatiku terluka
Kisah kita kini
tinggal kenangan
Inginku katakana yang
ku rasa
Tapi senyum itu
Ku tak mampu luluhkan
hatiku
Mampu Terdiam
Bayangmu yang temaniku
Hiasi malam sepiku
Ku ingin bersama
dirimu
Tak pernah berpaling
darimu
Walau kini kau jauh
dariku
Selalu ku nanti
Karena aku
menyayangimu
Hati ini
Selalu memanggil
namamu
Ku berjanji hanya
untukmu
Ku cinta kau
Tak pernah ada yang
lain
Ku rindu dirimu
Akankah kau
merindukanku
Sanggupkah ku terdiam
Tanpa dirimu di sisiku
Ku kan selalu
menantimu
Ujung Penantian
Malam sunyi tanpa
suara
Bumi pancarkan sinar
jingga
Termenung kesepian
Tanpa sahabat sejati
bintang
Pepohonan di musim
kemarau
Merintih kehausan
Kering kerontang
sampai ke kerongkongan
Gersnag bumi hamparan
api
Menghanguskan asa
Menjerat nadi
Daun melambai tak
tentu arah
Seperti jalan hidupku
kini
Hanya hamparan noda
hitam
Tak ada liku lurus
membentang
Ku tapaki terus-terus
Walau tanpa tujuan
Ku ingin temukan ujung
Dari sejuta penantian
Karena peluhku merobek
jarum waktu
Lelah merintih
hentikan detak jantung
Mana ujung jalan ini
Mengapa tak ku temui
Mungkin disana
Di ujung jalan
Ada jurang menanti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar